Masih ingat desain lembaran uang 5 ribuan lama? Selembar uang dengan gambar Danau Tiga Warna dan alat musik dari Flores, Sasando Rote. Pecahan uang tersebut beredar di Indonesia selama 9 tahun dan kemudian akhirnya pada tahun 2001 digantikan dengan gambar Tuanku Imam Bonjol. Tahun ini saya cukup beruntung dan akhirnya bisa menjelajahi Danau Kelimutu.
Danau Tiga Warna
Danau Tiga Warna Kelimutu terletak di puncak Gunung Kelimutu, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Dinamakan demikian karena warna ketiga danau tersebut selalu berubah seiring berjalannya waktu. Berdasarkan catatan data Taman Nasional Kelimutu warna danau telah berganti sebanyak 44 kali semenjak tahun 1915 sampai dengan tahun 2011.
Nama gunung dan danau Kelimutu sendiri berasal dari dua kata: “keli” yang berarti gunung dan “mutu” yang berarti mendidih. Kelimutu berarti gunung yang mendidih. Ketiga danau ini juga memiliki nama dan artinya masing-masing.
Cara ke Danau Kelimutu
Danau Kelimutu terletak di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Jadi kalian harus mencapai Kota Ende atau Maumere. Danau Kelimutu bisa dicapai baik melalui Ende ataupun Maumere. Saat itu kami terbang menggunakan pesawat dari Labuan Bajo menuju ke Ende.
Labuan Bajo – Ende
Tiket menuju Ende dari Labuan Bajo bisa kalian beli langsung di Bandar Udara Komodo di hari keberangkatan. Namun berdasarkan pengalaman harga tiket dari Bandar Udara lebih mahal dibandingkan dengan harga tiket dari laman penjualan tiket online Traveloka. Berikut ini harga tiket yang saya dapatkan:
- Labuan Bajo (LBJ) Komodo – Ende (ENE) H Hasan Aroeboesman: Rp 420.500
- Ende (ENE) H Hasan Aroeboesman – Labuan Bajo (LBJ) Komodo: Rp 325.400
Pada saat pendaratan, kami disuguhi pemandangan indah dari gunung yang sepertinya masih aktif. Kami berputar di sekitar gunung sebelum mendarat di kota Ende. Saya sangat bersemangat, begitu indah lukisan alam yang menyambut kedatangan kami ke Ende. Gunung tinggi berasap yang menganga menghadap lautan.
Ende – Kampung Moni
Ada beberapa cara untuk menuju Kelimutu dari Kota Ende, salah satunya adalah menuju ke Kampung Moni dan menginap, kemudian di pagi harinya mendaki ke Kelimutu. Di Kampung Moni tersedia banyak penginapan dimana kalian bisa menginap. Kalian bisa langsung datang ke Moni atau bisa juga booking awal melalui Traveloka, Tripadvisor atau situs lainnya.
Cara lainnya adalah dengan menginap di Kota Ende kemudian menyewa mobil di pagi hari langsung menuju ke Danau Kelimutu. Cara ini menurut saya kurang menguntungkan dan sangat melelahkan. Jarak Ende Kelimutu adalah sekitar 42 km dengan jalan kecil berliku yang dapat ditempuh selama kurang lebih satu setengah jam, sementara jarak Moni ke Kelimutu hanya sekitar 13 km.
Tersedia transportasi umum berupa bus Ende – Maumere dan kemudian turun di Kampung Moni dengan harga 20- 30 ribu rupiah. Menyewa mobil pribadi merupakan cara yang lebih nyaman, harga sewanya mencapai 200 – 300 ribu rupiah. Kami mendapatkan harga 500 ribu rupiah namun kami bisa berhenti di beberapa tempat lainnya di jalan menuju Ende ke Kampung Moni.
Carteran mobil banyak tersedia di Bandar udara Ende, bahkan kalian akan dikejar-kejar oleh supir taksi untuk diantarkan ke Kampung Moni. Pintar pintar lah menawar harga, lebih bagus lagi menyewa mobil dengan turis lainnya sehingga harga sewa mobil bisa dikurangi dengan cara berbagi harga.
Kampung Moni – Danau Kelimutu
Daya tarik Danau Tiga Warna Kelimutu ini memberikan dampak positif bagi desa-desa kecil di sekitar danau. Tersedia begitu banyak penginapan dan restoran di kampung kecil ini. Salah satu penginapan yang saya sarankan adalah Watugana Bungalow, harganya terjangkau dan tempatnya pun bersih. Kami mendapatkan harga 190 ribu rupiah per malam. Pemilik penginapan sangat komunikatif dan sangat membantu kami.
Dari Moni ke Kelimutu, kalian bisa trekking sejauh 12 km namun dengan jalan yang menanjak (dari ketinggian 648 m – 1.607 m dpa) atau dengan menggunakan ojek. Tarif ojek Moni Kelimutu yaitu sekitar 100 ribu rupiah pulang pergi. Atau kalian bisa menyewa motor seperti yang kami lakukan dengan tarif 100 ribu rupiah per 24 jam.
Belum ada tempat khusus yang menawarkan penyewaan motor di Kampung Moni, namun berkat bantuan sang pemilik penginapan kami berhasil mendapatkan motor untuk kami gunakan seharian. Bukan hanya bisa ke Kelimutu, namun kami juga bisa berkeliling di sekitar wilayah Moni – Kelimutu.
Uang Karcis Masuk
Harga uang karcis masuk Gunung Kelimutu adalah Rp 5000 untuk wisatawan domestik dan Rp 150.000 untuk turis asing. Sedikit tidak adil sebenarnya karena turis asing harus membayar jauh lebih banyak dibandingkan dengan wisatawan lokal. Uang karcis masuk kendaraan roda dua adalah 2000 rupiah.
Mendaki Gunung Kelimutu
Menuju ke Danau Kelimutu yang berada di puncak Gunung Kelimutu hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Danau terdekat berjarak 625 meter dari tempat parkir, sementara puncak gunung berjarak 1300 meter. Waktu terbaik untuk mengunjungi Kelimutu adalah di pagi hari pada saat matahari terbit yang katanya merupakan pemandangan terindah dari Danau Kelimutu.
Kami berangkat dari penginapan sekitar jam 4 pagi yang artinya bangun sekitar jam setengah 4. Senter merupakan hal penting yang harus disiapkan sebagai penerangan lantaran gelapnya jalan pendakian di pagi hari. Siapkan juga jaket karena angin bertiup kencang di atas sana.
Harus Coba Kopi Kelimutu
Perjalanan jauh berkeliling beberapa tempat di Labuan bajo dan kemudian dilanjutkan ke Ende dan Moni tentu saja sangat melelahkan. Ditambah lagi harus bangun pagi dan menyetir di jalan menanjak berliku yang cukup kecil. Setelah sampai di tempat parkiran, kami melihat dua ibu yang sudah membuka lapak jualannya. Di sini kami membeli kopi dan kain tenun ikat khas NTT.
Ibu-ibu di sini sangat ramah dan punya kopi nikmat hasil panenan dari kebun mereka sendiri. Rasanya pun berbeda dari tiap penjual kopi. Kebetulan kami berkeliling berdua, jadi kami membeli kopi yang berbeda. Karena tidak tahu bahwa ada penjual kopi lainnya di puncak gunung dan sangat mengantuk kami akhirnya membeli di awal pendakian. Padahal akan lebih indah menanti matahari terbit dengan segelas kopi hangat.
Jadi saran saya, kalau kalian bukan penggila kopi yang berani ambil 2 kali kopi di pagi hari, belilah kopi di Puncak Kelimutu sambil menikmati keindahan matahari. Dan lebih baik juga membeli kopi di puncak gunung. Penjual tersebut mendaki gunung setiap hari di saat pagi buta untuk menafkahi keluarganya.
Danau Kootainuamuri
Kootainuamuri atau yang disebut juga Tiwu Koo Fai Nuwa Muri adalah danau (atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan “tiwu”) yang terletak di puncak paling atas. Danau ini biasanya dikenal juga dengan danau yang berwarna biru, namun pada saat kami kesana danau ini lebih berwarna putih dari biru. Perhatikan uang lima ribu lama yang kita miliki, danau yang berwarna biru itulah yang dinamakan Danau Kootainuamuri.
Kami sebenarnya melewati danau berwarna merah, namun karena kami mengejar matahari akhirnya kami putuskan untuk pergi ke puncak gunung. Jalan menuju puncak kelimutu sudah bagus, tidak perlu takut untuk kesana. Sudah tersedia tangga dan viewpoint di puncak gunung.
Danau biru atau yang saya saksikan sebagai warna putih ini dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Masyarakat setempat percaya bahwa masing-masing danau memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.
Danau Abutu
Tiwu atau danau yang satu ini dikenal dengan nama Danau Putih, namun berwarna hijau pada uang cetakan 5 ribu lama di atas tersebut. Sementara foto pembanding di atas uang lima ribu tersebut berwarna biru kehitaman, selaras dengan warna yang saya saksikan dari puncak gunung. Pada saat itu warna Abutu adalah yang paling gelap dibandingkan dengan kedua danau lainnya. Sayangnya karena letak viewpoint yang membelakangi danau ini pada saat matahari terbit, keberadaannya sedikit “dianak-tirikan”.
Nama lain dari Danau Abutu adalah Danau Tiwu Ata Mbupu. Danau ini dipercayai sebagai tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal. Ukurannya pun lebih kecil dibandingkan dengan danau lainnya.
Danau Alapolo
Ini dia danau favorit saya, danau penuh cerita. Danau ini yang warnanya paling cantik pada saat kami kesana. Alapolo atau Danau Tiwu Ata Polo dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama hidupnya selalu berbuat jahat/tenung. Cetakan uang lima ribu lama menggambarkannya sebagai Danau Merah sebagaimana nama lain yang dikenal dari danau ini.
Kami mendaki lebih tinggi dari sisi lain danau untuk mendapatkan foto-foto yang lebih indah. Tentu saja untuk mendapatkan foto yang indah butuh sedikit pengorbanan. Saya harus berjalan sangat dekat ke tepian danau yang curam.
Setelah kami puas berfoto-foto, datanglah seekor monyet liar ke tepian danau. Ada beberapa wisatawan yang sepertinya merupakan masyarakat lokal dan memberi makan monyet tersebut. Kami akhirnya cepat-cepat turun untuk mengabadikan foto si monyet yang sedang berada di tepian Alapolo.
Monyet ini sepertinya sudah terbiasa dengan wisatawan yang memberi makanan. Namun ada yang aneh, bukannya menjadi jinak malah menjadi agresif. Saat si monyet sudah melahap habis biskuit atau buahnya, ia menjadi agresif untuk meminta lebih banyak makanan. Awalnya kami baik-baik saja saat para wisatawan tersebut masih memiliki makanan. Namun pada saat mereka kehabisan biskuit, kami diserang dan dikejar oleh sang monyet.
Tentu saja kami terbirit-birit dibuatnya. Kami kemudian meninggalkan si monyet dan danau Alapolo bersama dengan mentari pagi yang mulai menghangat. Perjalanan pulang kami lanjutkan dengan menelusuri beberapa sisi lain Taman Nasional Kelimutu.
Nantikan artikel berikutnya untuk cerita lebih lanjut 😉