Pengalaman Pertama Backpacking Sendirian, Hari ke-1
Ketersediaan internet saat ini melambung tinggi kepopulerannya, terutama setelah munculnya sosial-sosial media seperti Instagram dan Facebook. Melalui sosmed kepopuleran kegiatan traveling atau jalan-jalan pun meningkat tajam. Para netizen berlomba-lomba memamerkan gaya hidup mereka melalui sosmed. Mungkin saya pun termasuk salah satunya. Silahkan simak cerita mengenai pengalaman backpacking sendirian yang pertama dalam hidup ini.
Apa itu backpacking?
Backpacking sepertinya merupakan salah satu hashtag yang saat ini lumayan populer di sosial media seperti instagram atau Facebook. Namun pengertiannya banyak disalah-artikan oleh para netizen di Indonesia. Cukup banyak orang yang berpikir bahwa jalan-jalan sama dengan backpacking, padahal tidak demikian adanya. Berikut saya jabarkan apa sebenarnya backpacking itu, sebelum menceritakan perjalanan yang baru-baru ini saya lakukan.
Backpacking adalah sebuah kata kerja yang berasal dari kata benda backpack. Nah kata backpack itu sendiri berasal dari dua kata terpisah di bahasa Inggris, yaitu back dan pack. Backpack merupakan tas besar yang dipanggul di punggung alias ransel. Sementara backpacking adalah kegiatan berjalan kaki dengan sebuah backpack (yang di dalamnya berisi perlengkapan pribadi yang akan digunakan selama perjalanan), dimana si pejalan kaki tersebut berniat menginap semalam (atau beberapa malam) jauh dari rumah tempat tinggalnya.
Selain itu, backpacking atau “ransel-an” ini juga sering dikaitkan dengan jalan-jalan murah meriah. Ransel-an bisa juga dianggap sebagai gaya jalan-jalan, dimana saat bepergian ke tempat jauh sang traveler ini menggunakan ransel. Jadi jika kalian bepergian menggunakan koper, hashtag “backpacking” sepertinya salah tempat. Apalagi jika kalian ikut tur dalam kelompok besar yang menggunakan jasa agen wisata.
Backpacker (si pelancong dengan ransel) biasanya memilih cara bepergian yang murah meriah, makan di warung lokal, tinggal di tempat sederhana dan juga tidak menghabiskan uang untuk belanja-belanji di toko besar berisi barang-barang bermerek. Nah, jadi kalian sudah mengerti sekarang bahwa backpacking ini bukanlah hal mudah yang tujuannya hanya untuk mengisi foto di Instagram atau Facebook. Backpacking atau Ransel-an adalah kegiatan yang membutuhkan kondisi fisik yang cukup baik dan keberanian mental untuk melanglang buana di tempat yang tidak dikenal.
Detail Perjalanan
Perjalanan ini saya lakukan di negara asing, tempat tinggal saya saat ini. Sebuah negara di bagian Eropa Tengah yang bahasa kesehariannya merupakan anggota kelompok bahasa Slavik Barat dari rumpun bahasa Indo-Eropa. Negara ini disebut sebagai Republik Ceko. Sekitar seminggu saya merencakan perjalanan ini, banyak baca di internet mengenai bahaya yang mungkin saja saya alami di dalam perjalanan. Semakin banyak membaca, semakin gugup jadinya.
Dengan rencana yang saya anggap cukup matang dan modal nekat, saya berangkat ke sebuah desa kecil di dekat Taman Nasional Sumava. Ransel besar berisi makanan, obat-obatan, peralatan tidur, peralatan memasak mini, perlengkapan berkemah, dan beberapa helai pakaian, serta perlengkapan fotografi menemani perjalanan saya di akhir pekan itu. Jika kalian tanya seberat apa ransel saya saat itu, lebih dari 20kg saya panggul ditambah 3 liter air putih.
Hari Pertama Solo Backpacking
Meninggalkan Ibu Kota
Perjalanan dimulai dengan kereta bawah tanah, kemudian dari Praha ke Vimperk menggunakan bus. Di stasiun Vimperk saya menantikan bus berikutnya. Ada banyak tempat perhentian bus disini, saya perhatikan satu persatu dan akhirnya ketemu. Di stasiun ini saya harus menunggu sekitar 2 jam. Di sini saya menikmati makan siang yang hanya berupa buah-buahan. Rencananya akan ada makan siang kedua di tengah perjalanan nanti.
Di stasiun Vimperk ini saya didatangi dua orang lelaki yang tanya-tanya asal dan alasan kenapa saya di sana. Saya tanggapi saja sedang tunggu bus. Mereka tidak berhenti tanya, sedikit menakutkan sih. Mungkin karena jarang lihat perempuan sendirian dengan ransel dan berasal dari ras yang berbeda.
Akhirnya bus pun datang dan dengan kemampuan bahasa lokal sebisanya saya membeli tiket menuju titik awal perjalanan, Vaclov – Tejmlov. Penduduk di sini rata-rata bisa berbahasa Jerman, termasuk si bapak supir bus. Letak daerahnya yang berbatasan dengan Austria dan banyaknya turis Austria yang berlibur ke daerah ini memampukan penduduk perbatasan untuk menguasai kedua bahasa. Namun sayangnya di desa-desa kecil jarang sekali ada penduduk yang bisa berbahasa Inggris.
Tejmlov – Královský kámen
Sampai juga akhirnya di sebuah halte bus kecil, perjalanan saya lanjutkan dengan berjalan kaki. Berikut gambar rencana perjalanan saya untuk hari pertama dengan jarak tempuh 14,5 km.
Masalahnya saya tidak tahu harus memulai dari mana meskipun punya rencana perjalanan yang saya siapkan sekitar seminggu. Tentu saja dikarenakan oleh orientasi pada peta yang sangat menyedihkan. Berbekal kemampuan bahasa seadanya, saya bertanya di mana letak jalur hiking berwarna merah pada penduduk setempat. Lantaran kemampuan yang pas-pasan saya menukar kata warna merah dan warna hitam.
Untungnya, tidak ada jalur hiking berwarna hitam. Saya ditanyai mau kemana, saya jelaskan kalau saya ingin pergi ke Královský kámen. Nah dari situ mereka mengerti bahwa yang saya maksud warna merah. Saya diberikan arah, kata si ibu saya harus berjalan mengikuti jalan aspal dan tidak boleh keluar jalan. Sementara tanda jalan menunjukkan arah yang berbeda. Dilema… Ikut arahan penduduk lokal atau ikut penunjuk jalan. Timbang sana timbang sini, keputusan akhirnya saya buat juga. Saya putuskan untuk mengikuti penunjuk jalan dengan pertimbangan nantinya bisa mengorientasikan diri pada peta yang saya bawa.
Krásná vylídka
Bukit kecil tersebut berhasil saya capai dan dari sini saya menyaksikan panorama yang begitu indah. Tenang… damai… indah… begitu isi kepala saya saat itu. Tempat ini dinamakan Krásná vyhlídka yang artinya viewpoint yang indah. Perjalanan saya teruskan, melalui pondok-pondok kecil nan indah di dekat hutan. Orang-orang di negara ini sangat suka untuk menghabiskan akhir pekannya di pondok yang jauh dari kebisingan kota. Mereka juga suka sekali jalan-jalan menelusuri indahnya alam, mungkin juga karena hal tersebut saya merasa nyaman di negara ini.
Královský kámen
Tempat tersebut berarti “batu raja”. Saat menemui jalan menanjak, semangat berapi-api di hari pertama sempat hilang, bahkan sempat salah jalan. Cukup mengerikan berada sendirian di tengah hutan seperti itu. Dengan nafas terputus-putus saya mencapai tempat berbatu tersebut. Di sini saya berhenti beberapa menit untuk makan siang. Kemudian perjalanan saya lanjutkan.
Menuju Kašperské hory, Gunung Tak Kesampaian
Waktu sudah menunjukkan jam 6 sore, namun masih setengah perjalanan saya lalui. Jalanan menuju sebuah tempat bernama Kašperské hory ini tak ada habisnya. Saya sudah kecapaian dan masih setengah jalan. Perjalanan tersebut cukup membosankan karena hanya melalui jalan raya. Kali ini saya ingat rumah, mungkin jalan sendirian seperti ini bukan keputusan yang baik. Saya kemudian menenangkan diri dengan duduk di sebuah bangku di pinggir jalan, di dekat sebuah peternakan.
Matahari masih tinggi, sapi-sapi masih merumput di padang rumput, pemandangan yang mengingatkan saya akan daerah transmigrasi kecil di Papua tempat saya lahir dan dibesarkan. Di musim panas matahari masih ada hingga jam 8 sampai jam 9 malam, jadi saya masih punya waktu sekitar 2 jam sebelum sang gelap datang.
Saya beristirahat dan mengamati peta, ada sebuah jalan kecil yang nampaknya lebih dekat dan tidak menanjak namun jalan ini di luar jalur hiking. Karena saya terlalu capek dan malas untuk jalan menanjak, resiko menggiurkan itu tentu saya ambil. Berjalan melalui jalan kecil menjelang malam mungkin bukan ide yang baik, tapi lebih baik dibandingkan dengan jalan menanjak gunung yang letaknya mengikuti jalan besar untuk mobil. Sebuah kota di atas gunung ini memang tak kesampaian, bukan karena tangan tak sampai, tapi karena saya dikejar gelapnya malam dan waktu yang terbatas.
Hotel Mewah dan Kampung Terlantar
Jalan yang saya lewati mengecil, berubah menjadi jalan setapak yang nampaknya jarang dilewati. Namun sudah terlambat untuk kembali, jalan satu-satunya adalah dengan meneruskan perjalanan tersebut. Tekad saya bulatkan, keberanian pun saya gali sedalam-dalamnya. Semoga tidak salah jalan dan bisa sampai di tempat tujuan dimana berkemah diperbolehkan.
Suara mobil menggema pertanda adanya jalan raya di sekitar situ. Ya.. akhirnya saya menemukan jalan raya. Kecepatan jalan pun saya pertahankan. Saya menemui sebuah hotel mewah dengan nama Hotel Sumava. Mobil-mobil berjejeran, banyak orang terlihat menikmati makan malamnya di balkon restoran hotel, sementara saya hanya berjalan pelan memanggul ransel berat. Betapa beruntungnya mereka di dalam sana. Terlintas pikiran untuk berhenti dan tidur di sana. Namun harganya pasti mahal dan lagi saya hanya harus terus berjalan, sedikit lagi…
Selangkah demi selangkah saya tapakkan ke jalan aspal keras yang mulai menyakiti kaki dan lutut. Berjalan di jalan raya dengan ransel berat bukanlah pekerjaan ringan, pergelangan kaki rasanya lebih sakit. Matahari perlahan sudah kehilangan sinarnya. Terlihat sebuah kampung di depan sana, senang rasanya hati ini. Mungkin saja itu adalah kampung Rejštejn, tempat dimana saya bisa berkemah.
Anehnya, tidak ada orang sama sekali terlihat berlalu lalang di kampung tersebut. Setelah saya amati lebih dekat, ternyata kampung tersebut adalah sebuah kampung terlantar yang dulunya adalah sebuah pabrik. Bulu kuduk pun berdiri, tidak ada satu pun mobil yang melewati jalan tersebut. Jangan-jangan kampung tersebut berhantu atau mungkin saja markas orang-orang yang pekerjaannya merampok. Pikiran manusia memang musuh terbesar manusia itu sendiri, pasti imaginasi ini muncul akibat overdosis film-film sci-fi dan action. Mengerikan sekali berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Langkah pun saya pacu lebih cepat.
Mengejar Matahari
Kampung mengerikan itu pun berhasil saya lewati dengan sehat tidak kekurangan sesuatu apapun. Matahari terbenam berada tepat di depan, pertanda baik bahwa arah barat tepat di depan sana. Jalan panjang lurus terbentang lebar di depan. Lagi-lagi jalan raya yang lurus. Sangat membosankan. Ada peternakan di sekitar situ. Kelihatannya ada dokter hewan yang sedang memeriksa sapi-sapi di sana.
Hampir habis jalanan lurus ini, sebuah mobil berhenti, seorang lelaki bertanya apakah saya tersesat. “Mau ke desa Rejštejn”, jawaban seadanya saya lontarkan. “Jalan saja terus, jalan ini menuju ke Rejštejn. Semoga selmat sampai ditujuan”, katanya. “Terima kasih,” balas saya sambil melambaikan tangan. Samar-samar sebuah papan putih terlihat di depan sana.
Tinta hitam menghiasi papan putih kecil tersebut. Rejštejn tertulis disana. Bahagia.. lega.. lapar.. hanya sedikit lagi. Kemudian saya melewati jembatan kayu dengan aliran sungai indah. Akhirnya saya sampai. Sebuah tempat berkemah untuk mobil saya temukan, namun kemah biasa juga bisa didirikan di sini. Pemiliknya mempersilahkan saya berkemah di tempat kosong yang bisa saya temukan.
Di ujung tempat berkemah saya memilih tempat. Ransel saya lepaskan. Ringan… rasanya beban hidup berat itu terlepas indah ke tanah. Kemah saya dirikan, air pun naik ke kompor mini dengan beberapa butir spiritus. Mie instan pedas hangat mengisi perut di malam itu.
PS
Dan ternyata jalan pendek yang saya ambil tersebut hanya 200m lebih dekat dari jalur hiking 😀 Tapi paling tidak jalannya (mungkin saja) tidak menanjak. Perjalanan hari berikutnya silahkan baca di sini Backpacking Sendirian, Hari Ke-2.